Waktu menunjukan pukul lima pagi. Dari jendela kamar di lantai tiga ini, saya bisa melihat terang dan redupnya lampu penerangan jalan setiap beberapa menit sekali.
Riuh orang-orang yang sedang berbicara seakan jelas terdengar di telinga. Walau saya berada di atas bangunan tiga lantai ini. Sesekali, saya melirik dan melihat cahaya terang dari balik tirai jendela kamar yang sepertinya sudah lama tidak ditempati ini.
Tubuh sebenarnya sudah sangat lelah namun entah mengapa saat sudah benar-benar berada di atas kasur, rasa mengantuk belum juga menghinggap.
Suasana kamar sedikit redup karena lampu kamar dimatikan namun dari luar sana cahaya lampu penerangan jalan seakan terus menerangi kamar ini walau setiap beberapa menit sekali lampu mati. Namun saya masih bisa melihat dengan jelas sudut-sudut kamar ini.
Pandangan mata pun dibiarkan bebas melihat sudut-sudut kamar yang lumayan luas dengan dua buah tempat tidur yang saling berdampingan.
Beberapa poster pemain sepak bola pada era 2000an terlihat masih tertempel rapi di tembok kamar. Sudut-sudut kamar pun penuh dengan lemari ukuran kecil, meja belajar yang kesemuanya ditutupi plastik transparan agar tidak terkena debu.
Kemudian saya paham jika kamar ini sepertinya sudah lama sekali tidak ditinggali oleh si empunya. Hampir beberapa puluh menit hanya itulah aktivitas yang saya lakukan di dalam kamar hingga akhirnya benar-benar mengantuk dan kemudian tertidur.
Setelah benar-benar terbangun, saya baru sadar kalau ini bukan di kamar seperti biasanya. Ini saya sedang menumpang di rumah orang.
Seperti biasa, saat pagi hari harus melakoni ritual buang hajat yang wajib dilakukan. Saya pun beranjak turun ke lantai dua menuju kamar mandi. Saat itu terlihat penghuni rumah sudah mulai beraktivitas memasak di dapur yang dari sini sudah tercium bau sedap aromanya.
Setelah buang hajat dan mandi, saya pun bergegas kembali menuju lantai tiga untuk melaksanakan kewajiban salat subuh. Hingga sampai matahari semakin meninggi, saya masih asyik mengamati lalu lalang orang di luar dari balik jendela kamar ini.
Baca juga cerita tentang Sate Kere dan Sapi Solo di sini : Mencicipi Sate Sapi Mbak Tug, Seporsi Nggak Cukup!!
Sejak saya sampai Solo sekitar pukul setengah satu malam dan menginap tak jauh dari Pasar Gede Hardjonagoro, suasananya masih ramai.

sembari menunggu ojeg daring, menyempatkan berfoto di Pasar Gede l foto: Halim Santoso
Mobil-mobil bak terbuka berukuran kecil yang penuh dengan buah-buahan menjadi pemandangan yang menarik sejak saya sampai di tempat ini.
Sekilas, saya melihat banyak sekali berkarung-karung buah duku yang saat itu sedang puncak musim berbuahnya. Bahkan saat perjalanan dari Banjarnegara ke Solo, saya mengamati betul banyak kendaraan dengan pelat nomor R (Banyumas) yang searah perjalanan menuju timur. Barangkali duku-duku tadi merupakan buah yang berasal dari kampung saya (Banjarnegara).
Kemudian saya baru ingat, jika sebelum saya pergi, ibu sudah mewanti-wanti untuk membawa sekantong plastik duku segar untuk buah tangan saat nanti sampai di tempat tujuan.
Langsung saja, saya bongkar isi ransel dan menemukan sekantong plastik duku teronggok di bawah. Dalam hati bergumam, “biarpun cuma segini, amanat dari Ibu harus disampaikan”.
Beberapa jam sebelum berangkat, saya pun masih menikmati buah duku saat bertamu ke rumah Wedwi, teman saya. Jangan heran jika saat musimnya, hampir tiap rumah akan menyajikan buah mungil warna kuning ini untuk setiap tamu yang bertandang.
Kemudian ingatan manis saat kecil tiba-tiba terlintas. Saat itu, ketika sehabis salat subuh, anak-anak, orang tua akan berduyun-duyun menuju kebun yang ditanami oleh pohon duku. Istilah di kampung kami untuk aktivitas memunguti buah duku yang jatuh karena sisa dimakan kalong, kampret atau kelelawar dan juga karena ulat disebut “mbolor”.
Tak hanya untuk dimakan sendiri sebagai pengganti cemilan atau jajan yang tak terjangkau oleh uang, duku-duku tadi pun sebagian dijual kepada pengepul yang banyak terlihat saat panen tiba.
Memang tidak semua buah bisa dijual, hanya yang berkualitas baik saja yang laku dijual. Terkadang buah yang masih dalam kondisi bagus pun saat pagi biasanya berjatuhan secara alami.
Dari hasil “mbolor” itulah, anak-anak kampung menjadi punya uang saku yang akan dibelanjakan untuk membeli mainan maupun jajanan. Benar-benar kenangan yang manis dan langka untuk dilakukan di zaman sekarang ini.
Tak terasa langit makin terang. Aktivitas jual beli pun makin ramai saja di pinggir jalan. Semakin ke sini, bukan hanya buah duku saja yang terlihat. Buah seperti pepaya, pisang, apel, mangga dan lainnya pun diperjualbelikan, berpindah dari satu mobil ke mobil yang lain.
Dari kejauhan juga terlihat becak-becak yang berisi penumpang hilir mudik di sekitar Pasar Gede ini. Beberapa kembali dengan membawa penuh aneka buah yang diangkut di bagian depan becak.
Saat siang, mobil-mobil tadi seakan menghilang dan keramaian berpindah di dalam Pasar Gede. Hingga sore-malam sampai pagi mobil-mobil ramai kembali, begitulah ritmenya.

terlihat lampion-lampion masih terpasang, atmosfer imlek masih terasa l Foto: Halim Santoso
Sembari menunggu ojeg daring muncul, saya menyempatkan mampir sebentar di pasar untuk sekedar berfoto sebagai salam perkenalan dari Banjarnegara.
Selepasnya, kami harus buru-buru menuju Stasiun Balapan untuk mengejar kereta paling pagi yang akan berangkat dari Solo menuju Stasiun Tawang Semarang.
Sebuah pemandangan yang unik, mengamati dari jendela kamar lantai tiga sebuah ruko milik salah seorang teman yang saya tumpangi malam ini.
Biar kutebak, pasti kereta paling pagi yang dinaiki ke Semarang Tawang adalah KA Kalijaga 😀
sebagai biangnya kereta api tentu saja jawabannya seratus persen benar wkwkw
Wuih, pasar kok dihias sekeren itu dengan bejibun lampion …, semoga jangan dilepas.
Biarkan begitu saja, biar tetap terus jadi spot instagramable wwkkwkk …
itu dipasang pas imlek doang sih, setelahnya ya dibongkar, soalnya kalu dipasang terus bikin semrawut jalanan, soalnya ini pasar
selamat ya mas atas blog barunya hahahaha….
ini cerita pas nginap di rumah Halim ya
iya bener, ceritanya mau nulis apaan eh malas nulis ginian hehehe
yg cerita di solo udah belum sih, maaf lupa
baru nulis tentang sate kerenya, memang mbluncak2 nulisnya
Aku ke Solo beberapa hari dan bisa dibilang udah eksplor banyak. Tapi tetep aja kangen dan pengen balik lagi. Pengen kulineran sampe puas haha
aku juga hampir semua tempat sudah didatangi dari jalan kaki sampai naik motor tapi ya belum sempat ke puro mangkunegaran dan de colomadu
Ah, aku kangen solo jadinya. Udh lamaaa banget ga mudik ksana. Moga2 lebaran 2019 jd ksana 🙂 . Tp seingetku, aku ga prnh ke solo pas musim duku. Jd ga tau seperti apa duku di sana. Apa sama manisnya kyk duku palembang? 🙂 . Slama ini taunya duku yg manis itu dr palembang 😀
memang pas ke sana, buah duku bukan menjadi yang paling banyak dijual namun yang benar2 sedang musim adalah kampungku. eh iya duku ya terkenalnya dari palembang, sudah tersohor
Duuh jd kangen solo deh. Udh lama banget ga kesana :). Moga2 lebaran 2019 nanti aku bisa ke solo lg. Tp seingetku, tiap kali mudik, aku ga pernah pas musim duku. Jd ga tau apa duku di solo sama manisnya jayak duku palembang :). Selama ini taunya cm duku palembang yg rasanya manis 😀
lho siapa yang asli dari Solo?
solo bagiku kota yang tenang, tempo lalu waktu aku ke solo dengan jalan kaki aja udah bisa lihat-lihat ke beberapa tempat.
iya kakiku juga sampai gempor karena jalan kaki lama dan itu pun belum semua tempat didatangi, kudu khatamin lagi solo