Sekarang kita lewat mana?” tanya saya pada Tigana yang sedari tadi berjalan paling depan melewati pinggiran sawah yang berlumpur. Sementara itu gerimis dan hawa dingin masih terus saja mengikuti langkah kami.
“kita ikuti saja jalur ini, nanti juga bakalan sampai ke arah suara speaker masjid yang sedari tadi terdengar” jawab Tigana dengan penuh keyakinan.
Baca juga cerita tentang curug-curug lainnya di sini
“hmmmm…apa malah kita berjalan makin jauh dari jalur sebelumnya?” Seloroh Jujun dengan matanya yang sedari tadi masih saja fokus memandangi google maps di layar gawainya.
Bisa dibayangkan bagaimana rasanya tersesat berjam-jam di tengah-tengah kebun warga dan hutan yang baru pertama kali dikunjungi? Lelah, capek, kaki kotor, dingin, perut lapar dan hampir saja putus asa.
***
Beberapa Jam Sebelumnya
Saya, Tigana dan Jujun beberapa waktu yang lalu mencoba mengeksplor sebuah curug yang berada di antara Kabupaten Banjarnegara dengan Purbalingga.
Berawal dari sebuah keisengan, tanpa rencana dan hanya spontanitas semata setelah pada pagi harinya kami berkumpul sekedar mencoba mencicipi seduhan kopi di rumah Jujun hingga berakhir di sebuah curug yang sangat asing bagi saya.
Letaknya yang berada di tengah-tengah hutan, membuat jalur yang kami lewati tidaklah semudah yang dibayangkan.
Dengan mengendarai dua buah sepeda motor, saya pergi berboncengan dengan Tigana, sementara Jujun berkendara seorang diri. Tujuan kami adalah mengunjungi sebuah curug bernama Curug Gandong yang berada di ujung Desa Danakerta-Banjarnegara.
Belakangan kami baru sadar jika lokasi sebenarnya curug berada di wilayah Purbalingga, bukan di Banjarnegara walaupun sebenarnya jalur masuknya masih di wilayah Banjarnegara.
***
Kehilangan Arah di Pematang Sawah
Sepeda motor yang kami kendarai hanya mentok di depan sebuah Taman Kanak-Kanak. Setelah bertanya kepada penduduk sekitar, kami memutuskan untuk meninggalkan motor kami di sini saja.
Perjalanan selanjutnya ditempuh dengan jalan kaki melewati jalanan tanah yang licin karena sehabis diguyur hujan.
Tigana yang mempunyai pengalaman sewaktu masih kecil ke tempat ini, terlihat sangat antusias dan penuh percaya diri dengan rute yang harus dilewati. Hingga semuanya menemui tanda-tanda bahwa kami akan tersesat.
Sebuah jalan setapak di bawah rimbunnya tanaman bambu telah mengantarkan kami hingga ke tepian pematang sawah nan hijau. Rute selanjutnya, kami melewati galengan berupa jalan setapak yang memisahkan petak sawah satu dengan yang lainnya.
Dari tempat ini, kami sudah kehilangan jejak dan arah menuju curug yang akan kami tuju. Wajar saja, ingatan Tigana tentang curug ini terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Kini bisa ditebak, ia kebingungan dan tak tahu harus mengambil jalan yang mana. Sementara kami hanya pasrah mengikutinya saja dan berharap ia akan ingat.

sejak berangkat pun sudah tersasar di tengah hamparan sawah
Hampir empat puluh lima menit kami mengitari pematang sawah dan tak kunjung menemukan titik terang hingga saya yang berjalan memisahkan diri, bertemu dengan seorang petani yang hendak ke sawahnya. Dari hasil bertanya dengan beliaulah, saya tahu kemana arah selanjutnya menuju curug.
“Woiiii…lewat sini!!!” Teriak saya di pematang sawah ini sambil melambaikan tangan ke Jujun dan Tigana (Agan).
Kini kami berjalan searah melewati pinggiran sungai yang alirannya bermuara pada sebuah sungai besar dan salah satu cabang dari sungai ini menuju ke curug yang kami tuju.
***
Selangkah Lagi, Kami Sampai
Hamparan sawah hijau kini berganti dengan petak-petak tanah yang memenuhi punggung bukit dan terlihat gundul karena sehabis dipanen berpuluh-puluh karung singkong yang masih berlumuran tanah.
Dari orang-orang yang tengah mengangkut singkong ini, kami bertanya arah menuju curug.
“Ikuti saja jalan setapak melewati bukit ini, terus turun dan ketika ada sungai, ikuti aliran airnya, nanti akan berujung ke grujugan atau curug tadi!!!” Jawab si bapak yang tengah memikul singkong.
Perasaan kami makin gembira karena yang kami tuju hampir tiba. Terang saja, setelah kami melewati jalan setapak yang membelah perbukitan ini, kami sampai juga pada sebuah aliran sungai yang dari kejauhan terdengar gemericiknya.
Langkah kami makin cepat, tidak peduli jalan licin yang ada di depan. Saking semangatnya, sandal gunung milik Jujun pun putus dan terpaksa bertelanjang kaki.

Terlihat Jujun sedang membersihkan sandalnya yang kena lumpur dan talinya putus
Semakin mendekat, suara gemericik aliran air makin terdengar keras. Sejurus kemudian, sebuah sungai yang tidak terlalu lebar serta dalam sudah di depan kami.
Mengikuti petunjuk dari si bapak tadi, kami melewati pinggiran sungai. Sesekali kami masuk ke dalam sungai untuk membersihkan lumpur yang sudah kian menebal hingga mempersulit langkah kami.
Setelah melewati perkebunan singkong yang persis tumbuh di pinggir sungai, Tigana berteriak, “Woiiii ini curugnya sudah terlihat!!!”
Saya dan Jujun kian semangat mengejar Tigana yang sudah sampai terlebih dahulu.
Kini kami persis berdiri di atas aliran sungai yang beberapa meter saja adalah sebuah jurang yang cukup dalam. Dari atas sinilah, air sungai yang mengalir membentuk sebuah curug yang sangat cantik, asri, alami serta masih tidak terjamah oleh manusia.
Di bawah sana, suasananya begitu gelap karena dikelilingi rimbunnya tanaman bambu yang menutupi cahaya masuk.
Tigana yang berjalan paling depan, tengah membabat semak-semak yang hendak kami lewati guna menemukan jalan menuju jurang di bawah sana. Kami yang berjalan di belakangnya harus ekstra hati-hati karena ini sangat beresiko, membuka jalur jalan yang masih baru di antara semak belukar yang begitu rimbunnya.

Tigana tengah melewati semak belukar untuk membuka jalur menuju curug
Setelah bersusah payah, kami bertiga sampailah juga di dasar jurang tempat aliran air dari atas sana jatuh. Dari sinilah terlihat kecantikan curug yang sedari tadi kami cari. Aliran airnya memang tidak jernih dan berwarna kecoklatan karena lumpur yang terbawa sehabis hujan.

Aliran air dari atas Curug Gandong
Suasana sepi, dingin, gelap. Saya duduk di atas batu sambil menikmati keindahan pesona curug yang sangat tersembunyi ini.
Selamat Datang di Curug Gandong!!

Curug Gandong
Tigana yang terlihat paling antusias diantara kami. Ia langsung mendekati aliran air dari atas sana dan langsung berpose. Sejenak saya duduk melepas lelah sambil melihat tingkah polah Tigana yang terlihat lucu. Berita baiknya, sinyal telepon dapat kami tangkap…yeayyyyyy!!!!

seperti seorang kakak adik, mirip
Tak lupa saya langsung mengunggah momen tadi ke akun Instagram.

Sebentar saja sudah basah kuyub karena cipratan air
Rintik-rintik hujan mengiringi rasa suka cita kami bertiga. Kenangan akan pengalaman sewaktu kecil si Tigana telah terpuaskan. Kini ia sangat bahagia.
Drama Pun Dimulai!!
Sekitar tiga puluh menit kami di sini karena suasana makin gelap, mistis! Tapi inilah awal mula dari “penderitaan” kami.
Lagi-lagi Tigana berada paling depan saat kami memutuskan untuk pulang. Entah saking senangnya atau memang kami yang belum berpengalaman, kami mau saja melewati jalan lain atau jalur yang bukan kami lewati saat berangkat tadi.

rimbunnya hutan membuat tersesat
Kami harus susah payah di awal karena harus menaiki tebing licin serta akar-akar dari tanaman sekitar. Berikutnya kami harus naik turun bukit yang begitu asing sementara hujan makin deras, langit makin gelap dan hari makin sore.
Perbukitan lebat telah terlewati. Jalan setapak sudah tidak terhitung berapa kali kami lewati. Tapi anehnya, bukannya semakin mendekat ke tempat semula, kami malah semakin menjauh dan belakangan saya baru sadar kalau kami sudah memasuki kabupaten Purbalingga yang memang berbatasan langsung.

sudah masuk kabupaten Purbalingga
Mengapa bisa sadar? Karena saya memakai google maps saat itu.
Dasarnya memang belum berpengalaman, google maps pun tidak banyak membantu. Malah kami semakin lelah, kaki semakin sakit hingga perut makin lapar.
Beberapa kali, kami pun kembali lagi ke jalur yang beberapa menit lalu dilewati untuk mengurangi ketersesatan lebih jauh.
Kami bertiga akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak dan menjernihkan pikiran serta menghilangkan kepanikan. Memang saat-saat kritis seperti ini sebaiknya kita berpikir jernih dan jangan mudah panik walau susah.
***
Bertemu Dengan Bapak Miswanto
Akhirnya titik terang tiba. Mungkin Tuhan merasa iba dengan kami yang hampir sejam lebih berputar-putar mengikuti punggung perbukitan yang entah dimana.
Dari kejauhan terdengar obrolan orang. Kami pun mendekat dan benar saja, beberapa petani tengah kembali dari kebunnya di tengah hutan.
Kami langsung saja bertanya, “kami sebenarnya sudah memasuki wilayah mana?”
“Mas, ini sudah masuk daerah Klapa-Banjarnegara!!”
“Apa?” Kami terhenyak, walaupun ini masih di wilayah Banjarnegara tapi kami sudah tersasar sangat jauh karena kami berangkat dari Desa Danakerta dan ujug-ujug sudah di Desa Klapa.
Kami pun tersenyum kecut antara mau menangis atau menertawakan kemalangan.
Sebuah jalan beraspal terlihat di depan mata. Kami berjalan kaki melewatinya dan berakhir pada salah satu rumah warga desa Klapa. Belakangan kami tahu kalau jalur jalan yang beraspal tadi menembus ke Kabupaten Purbalingga, tinggal beberapa ratus meter saja.
Sebuah rumah berdinding bata yang belum terplester menyambut kami. Dari halaman rumahnya terlihat bapak-bapak tukang rongsok yang tengah pulang. Kami disuruh masuk ke rumah tadi untuk beristirahat.
Seorang pria tua menyambut kami di rumahnya. Bapak Miswanto, sosok tuan rumah yang begitu ramah. Dengan begitu baiknya beliau menawarkan kami minuman hangat dan beberapa camilan. Ah begitu baiknya……

berbincang sambil numpang minum
Setelah berbincang panjang lebar ihwal ketersesatan kami, bapak tadi menawarkan ojeg untuk mengantarkan kami ke Desa Danakerta. Ia tak lain dan tak bukan adalah anak lelakinya. Dengan membayar upah sekitar dua puluh ribu rupiah (dengan kami paksa karena awalnya tidak mau menerima) saya dan Jujun berbonceng tiga menuju Desa Danakerta tempat kami menitipkan sepeda motor kami. Sementara itu si Tigana kami tinggal di sini sebentar untuk kemudian kami jemput kembali nanti.
Konyol…Lucu…Ngenes...mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan pengalaman kami bertiga tadi.
Setelah motor kami ambil, kami kembali lagi ke Desa Klapa untuk menjemput Tigana. Di sepanjang jalan kami hanya bisa tertawa mengenai keadaan kami bertiga beberapa menit yang lalu.
Ah…rasanya ingin segera mampir ke Warung Pecel Mbok Sumedi, menikmati seporsi pecel dengan tempe mendoan hangat dan menuntaskan rasa lapar.
Air terjunnya belum ada akses memadai dari Purbalingga maupun Banjarnegara, Hen? Misal desa yang lebih dekat dibanding Danakerta?
Jujun udah korban sandal, pake acara nyasar ke desa lain di kabupaten sebelah. Tapi kok jadi seruuu ala petualangan Sherina gitu ya hahaha.
sebenere karena lokasinya yang masih rancu, masuk wilayah Purbalingga atau Banjarnegara. Yang lebih parah, si penunjuk jalan (Tigana) ke sininya pas zaman masih kecil lha kemarin dengan pedenya berjalan paling depan, padahal zonk…konyol juga sih kalau diinget2, makin sore, ujan, kelaperan hahaha
kalau curug yang lain lagi gimana? ikut lah… : )
Petualangan seru dan menyenangkan… Ikuuut…
sookkk mbonceng… : )
enak banget maen ke sawah, ke kebon ke air terjun. Ajak aku kak!
Seru memang kalau ke curug2 gitu.. segernya itu loh..
Tpi emang kalau ke tempat baru, kudu ngerasai kesasar2 gitu mas.. hehehe..
Keren keren …
tapi ini kesasarnya udah ampir kelewat batas, lah udah sore terus ujan lagi, bentar lagi bisa pada semaput, termasuk Jujun hehehe
Pengalaman banget ini mas. Gak ada petunjuk sama sekali, asal jalan gitu. Meraba2 arah, ah petualangan yg seru.
Lumayan sih curugnya, semoga ada yg kepikiran membuka aksesnya biar menjadi lebih mudah.
padahal sinyal 3G juga nyantol, tapi kami bertiga ya ndilalah bolak balik ke tempat yang sama terus, mungkin karena panik.
dulunya malah ramai kata orang2 tapi terus dilupakan hingga sekarang ini
eh iya, Bijo kan sukanya tempat yang sepi2 terus alami gitu…
Iya yang kaya gitu dehh, aku kangen sawah TT
hahah kebetulan juga lama tidak blusukan ke curug, padahal ini tulisan lama karena pas ke sana beberapa bulan yang lalu.
hahaha kadang suka lupa kalau lagi nulis dan ga terasa sudah panjang lebar…
Klo lgi asyik sih biasanya aja, sering lp gitu, peduli amat dunia sekitar, hehe…
Tp seru jg ya, sampai nyasar dari 1 desa k desa lainnya. Menurut saya, klian bnar2 curug hunter.
iya betul seperti itu, tapi makin ke sini lagi berusaha untuk tidak nulis panjang-panjang takut pembacanya bosen hehehe.
iya masuk dari desa A keluar dari desa B, konyol…
namanya juga mblusuk ke antah berantah wkwkwk
Air terjunnya ciamik. Sayang sekali aksesnya belum bagus. Tapi inilah keseruannya untuk menemukan air terjun itu.
Bro Hendi, sampeyan pakai template apa ya, nama template-nya. Saya mau menukar tampilan blog saya. Trims ya.
iya karena masih belum digali lagi, dulu sih sempat hits kata orang2.
nama templatenya: Penscratch 2
monggo dicoba : )
Trims ya. Nanti abis lebaran mau otak-atik template blog saya yang di wordpress.
hoooh…kayae lama ya blog-e nggak diapdet hehehe
Penuh perjuangan y Mas untuk kesana.. Air Terjun nya keren Mas
hooh butuh blusukan gitu, sayang aku kurang pinter mengabadikannya hehehe
duh kesasar di hutan apalagi klo hari mulai gelap, ngeri banget, untung selamat ya mas, lain kali klo masuk hutan buat tanda mas selama di perjalanan misal dengan mengikat tali warna warni di pohon yang dilewati
iya itu tipsnya bener juga. seharusnya kami pulangnya dengan jalan yang sama saat pas berangkat tapi kemarin malah sebaliknya. sok berani pakai jalur lain jadinya ya gitu, tersasar
Jangan berpsekulasi di hutan kak, soalnya kita nggak kenal daerah itu tp yang penting kalian selamat
Jadi pelajaran bgt…
Assalaamu’alaikum wr.wb, Hendi….
Ternyata pengalaman sesat menjadi kenangan indah yang dapat diceritakan kembali walau saat mengalaminya penuh dengan debaran dan keresahan. Alhamdulillah, akhirnya selamat dengan pertolongan Allah SWT.
Salam sejahtera dari Sarikei, Sarawak.
walaikum salamwr.wb. kak Siti….
iya benar sekali, jadi pengalaman yang berkesan dan bisa dijadikan pelajaran suatu saat nanti ketika pergi ke hutan lagi : )
selamat menjalankan ibadah puasa dan selamat hari raya idul fitri : )
Asik memang kalau mblusuk gitu, jadi pengen. Udah lama gak ke pemandangan seperti itu, terutama curug yang selalu bikin kangen. Dengan ke curug sendiri aku rasanya plong, seperti hilang beban gitu. Jadi lebih fresh…
Setuju…biar kdg pulangnya bikin capek tp yg penting jng mpe kesasar apalagi sendirian
mbuka jalur buat ke tempat baru itu memang sensasinya gitu mas, kudu siap-siap kesasar hehe
mana ada tragedi tali sandal putus segala, so pelajaran yg bisa diambil adalah : kudu bawa sandal cadangan 😀
iya bener banget, ada korban satu, tali sendal putus wkwkw
Apa, si ojek tadi menolak uang karena jumlahnya kecil 😀
hahahaahaha, lucu ceritanya. tapi orang desa sangat ramah
nah apa kurang duitnya ya? wkwkwk
sejauh ini sih gitu
Waaaahhh seru ya nyasar di tengah alam. Momen bingung, capek, lapar, haus, pasti berkesan banget.
Di dalam hati, “Berkesan gundulmu, coba aja rasain langsung.” wkwkwk
Btw ketemu warga lokal yang berbaik hati itu rasanya.. kayak diajak mampir ke rumah sama gebetan.
nah kui….berkesane pas bisa nulis di blog, tapi pas kesasar dan paniknya sih amit2 deh.
hooh kadang mikir, masih ada orang2 baik
Ikut ngos2an bacanya Hen…sekaligus merasa segar lihat curug grojogan yang asri. Keramahan penduduk yg membantu sungguh mengurangi sebagian lelah ya. Siap ndayeng lagi…
duh kepanjangan ya ceritanya, makane jadi bikin ngos-ngosan? hehehe
setuju, masih banyak penduduk desa yang sangat ramah dan membantu di zaman sekarang ini
Yg bikin ngos2an ikutan takut tersesat eh berarti penulis berhasil membawa hati pembaca larut dalam tulisan donk..
oh gitu ya? syukurlah hahaha
ini memang pengalaman yang konyol sekaligus pengalaman tak terduga ya, nyasar malahan bisa jumpa pengalaman baru.
iya kdang mikir kok bisa-bisanya, tapi ya gimana lagi kadang rasa penasaran mengalahkan segalanya
Assalaamu’alaikum wr.wb, Hendi…
Beningkan hati dengan zikir
cerahkan jiwa dengan cinta
lalui hari dengan senyum
tetapkan langkah dengan syukur
sucikan hati dengan permohonan maaf
kami sekeluarga mengucapkan selamat idul fitri…
mohon maaf lahir dan batin.
semoga kita mendapat berkah dan rahmat Allah selamanya, amin….
Selamat Hari Raya Aidilfitri,
Maaf Zahir dan Batin.
Salam Syawal dari Sarikei, Sarawak.
walaikum salam wr.wb, terima kasih atas ucapannya, semoga keluarga diberi kesehatan, kebahagiaan dan keselamatan. mohon maaf lahir dan batin juga : )
Wah, masih asri ya! Jadi inget pernah blusukan ke air terjun di tengah hutan, bukan tempat wisata, mlipir jurang lagi. Asyik banget ya!
pas berangkat dan sampai sih asyik tapi pas pulangnya kurang asyik hehehe karena tersesat
faaakkk empat lima menit ngiter sawah? pingsaaannn 🙁
hahaha itu baru sawahnya, belum hutannya
Kebayang banget itu capeknyaaa :D. Gila aja, untung ga ketemu jin iseng di tempat sepi begitu :D. Tapi baik bgt ya mas bapaknya :). Moga2 kebaikannya dibls berkali lipat.
pas berangkat sih ga kerasa capek, tapi pulangnya agak putus asa dan bingung aja muter2 di hutan gitu : (
wah ini termasuk curug yang terlupakan ..
curugnya kayaknya tidak banyak orang datang .. sudah dilupakan
pernah kesini tapi lupa, sampai jalan balikpun lupa .. 🙂
iya, dulu sekitar sepuluh tahunan yang lalu kata orang masih banyak orang yang datang ke curug ini, namun kini sepi dan menjadi tersembunyi kembali
Pingback: Bertemu Pak Rasim di Grujugan Kramat | NDAYENG
Pingback: URL