Saat sekarang ini, saya sedang berada persis di depan sebuah gedung berbentuk setengah lingkaran dengan bagian puncaknya yang tumpul. Bangunan ini sejatinya seperti menempel pada sebuah tebing yang letaknya lumayan miring pada ketinggian tertentu. Tepat di tengah-tengah dan samping bangunan ini terdapat barisan anak tangga yang menuju pada area yang lebih tinggi.
Selamat datang di Museum Dieng Kailasa! Bukan pertama kalinya memang saya mengunjungi tempat ini, akan tetapi kunjungan yang kedua kalinya ini terasa lebih istimewa karena ditemani adik-adik dari para finalis Kakang Mbekayu Banjarnegara tahun 2016.
Tidak ada pemandu yang bisa menjelaskan satu persatu benda koleksi yang dimiliki oleh Museum Dieng Kailasa ini. Saya pun bergegas masuk setelah di depan pintu masuk disambut sepasang cobek berukuran raksasa dengan ulekannya yang berbentuk seperti bola berjumlah masing-masing 3 buah.
Persis setelah masuk melalui pintu utama, pengunjung akan disambut dengan sebuah tembok berlapis bebatuan alam yang sengaja dipasang secara alami guna mempercantik interior di dalam museum ini. Di sisi kiri tembok terdapat sebuah tulisan tangan yang dibingkai oleh sebuah pigura. Isinya adalah sepatah dua patah kata dari salah satu mantan menteri pariwisata di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono. Ya, beliaulah bapak Jero Wacik.
”Museum adalah tempat kita untuk abadikan benda-benda bersejarah, perhatikan bendanya dalam tiap-tiap yang dikandungnya. Yang kita dapatkan adalah “Toleransi menghasilkan HARMONI, HARMONI melahirkan kebahagiaan”
Dieng, 28 Juli 2008
MENBUDPAR
Jero Wacik
Sebenarnya saat kunjungan yang pertama kalinya, saya salah masuk ke museum ini. Seharusnya pintu masuk berada di sebelah kiri tapi saya malah memulai dari arah sebaliknya. Walhasil saat melihat benda-benda koleksi museum yang sejatinya sudah ditata sedemikian rupa dan berurutan membuat saya yang melihatnya menjadi bingung, tentu saja karena saya menelusurinya dari arah yang terbalik.
***
Sarana Upacara Agama Hindu
Pada bagian ini saya bisa melihat sekilas mengenai berbagai macam sarana upacara atau persembahyangan untuk umat Hindu yang berada di Indonesia. Dalam ajaran Hindu, sarana persembahyangan tidak bisa dilepaskan dalam 4 hal yang hampir selalu ada baik dalam upacara hari raya agama Hindu maupun sekedar ritual dalam keseharian. 4 hal tersebut adalah:
- Air, saya kurang tau pasti makna penggunaan air sebagai sesuatu yang pokok dalam setiap upacara atau persembahyangan agama Hindu. Yang pasti dalam ajaran agama Islam, air pun sejatinya menjadi suatu hal yang utama dan wajib sebelum memulai ibadah Sholat terutama digunakan sebagai air wudhu yang fungsinya untuk membersihkan diri dari kotoran sebelum memulai sholat. Mungkin titik kesamaan inilah yang membuat air dipercaya sebagai sumber kehidupan, pelebur dosa, penyucian diri sebelum memulai suatu ritual atau upacara dalam agama Hindu.
- Dupa, setahu saya dalam tradisi Buddha, Konguchu, Taoisme juga mengenal dupa sebagai salah satu sarana dalam beribadah. Dupa sendiri yang sering saya lihat terbuat dari sejenis bubuk kayu yang mempunyai wangi atau aroma tertentu dan dibuat sedemikian rupa dengan menempelkannya pada sebilah lidi yang terbuat dari bambu atau kayu. Aroma dupa yang wangi akan menimbulkan aroma khas tersendiri guna menambah kesakralan dalam beribadah.
- Dipa (Pelita) atau dalam ritual keagamaan Kristen tercermin atau bertransformasi menjadi sebuah lilin. Pelita bisa terbuat dari sumbu yang direndam dalam minyak untuk kemudian dinyalakan sebagai penerang atau sumber cahaya. Mungkin makna bebasnya adalah sebagai penerang bagi umat yang akan hendak beribadah dalam arti khusus.
- Bunga, bahkan dalam tradisi berziarah atau upacara kematian dalam penduduk yang tinggal di sekitar rumah, masih sering terlihat penggunaan bunga untuk ditabur ke atas liang lahat, saat jenazah dibawa dengan keranda.
Kegiatan Ritual Keagamaan
Apapun agamanya, sebuah ritual pastinya akan terlihat dalam kegiatan peribadahan hanya tata caranya saja yang mungkin berbeda namun esensinya mungkin adalah sama yaitu mengagungkan kebesaran sang pencipta dan memuji segala macam anugerah yang telah di berikanNya.
Bahkan relief-relief yang menggambarkan kegiatan umat yang sedang menjalankan ritual bisa terlihat dalam bukti yang hingga kini masih dilihat jejaknya. Beberapa candi yang ditemukan di Indonesia terlihat relief-relief yang menggambarkan aktivitas umat dalam menjalankan ibadah di sebuah bangunan suci yang mereka bangun.
Saya dengan seksama menyaksikan satu persatu keterangan atau benda yang dipamerkan dalam museum Dieng Kailasa ini. Salah satunya adalah penemuan arca khas dataran tinggi Dieng yang ditemukan oleh tim arkeolog. Sejumlah prasasti dan arca yang ditemukan di Dieng, memberikan gambaran bahwa penduduk pada jaman dahulu adalah penganut pemuja dewa Siwa.
Salah satu ciri khas pengikut Siwa yang berada di dataran tinggi Dieng adalah ditemukannya arca penggambaran Siwa yang berbeda atau istimewa. Di sini penggambaran Siwa diwujudkan dalam bentuk Siwa Trisirah (Siwa dengan 3 kepala/wajah). Selain itu juga ditemukan penggambaran Siwa dalam wujud Siwa Nandisawaharnamurti atau Siwa yang duduk di atas Nandi (lembu).
Bergeser beberapa langkah, saya menemukan sebuah keterangan yang memberikan penjelasan mengenai bentuk arca yang terdapat di salah satu candi yaitu Candi Bima yang dalam penjelasan tertulis Arca Kudu. Sebenarnya saya kurang paham apa beda Arca Kudu dengan Arca pada umumnya yang ditemukan pada candi-candi di pulau Jawa atau di Indonesia. Yang saya bisa simpulkan, setiap candi mempunyai kekhasan masing-masing yang membedakannya dengan candi lainnya.
Pada bagian lain, saya juga menjumpai sosok patung dewa Ganesha yang berkepala gajah dan berbadan manusia. Penggambaran Ganesha dan keistimewaannya yang sering dikaitkan dengan kepintaran dan keilmuan sering digunakan untuk simbol suatu instansi atau sekolah. Di Banjarnegara sendiri, sosok Ganesha digunakan dalam dunia Kepramukaan, lebih tepatnya untuk Gudep SMA N 1 Banjarnegara.
Beberapa juga terlihat sosok dewi dan dewa dengan pose tertentu dan juga senjata yang digenggamnya, baik berupa cakram, gada, dan senjata lainnya yang saya kurang paham. Semua digambarkan dalam bentuk tangan yang lebih dari 2.
Sekte Siwa di Dieng
Dalam agama Hindu, umat juga terbagi dalam beberapa sekte. Bahkan dalam ajaran Islam, beberapa umat juga mengikut sekte atau maghzab tertentu. Dari penjelasan yang terpampang, di dataran tinggi Dieng ini termasuk banyak pengikut sekte Siwa yang digambarkan dalam bentuk Lingga dan Yoni. Keberadaan Lingga-Yoni di Indonesia mempunyai sejarah panjang dan bentuk modernnya bisa kita lihat dalam wujud tugu monumen nasional yang berada di ibukota Indonesia, Jakarta.
Saya masih ingat betul dalam penggambaran simbol Lingga yang sering terlihat dalam film-film India pada era 90 an yang sering dipuja pemeluk agama Hindu di India dan biasanya terdapat 3 garis strip sebagai penanda dan lagi-lagi saya kurang paham apa maksudnya atau arti dari simbol tersebut.
Perkembangan Arsitektur Candi di Dieng
Pada bagian berikutnya saya melihat perkembangan Arsitektur Candi di Dieng yang dari waktu ke waktu mempunyai ciri khas dari yang sederhana hingga seperti sekarang ini yang masih bisa kita lihat bentuknya. Bahkan sebelum era modern, orang-orang dahulu telah mengenal berbagai macam arsitektur yang menonjolkan kekhasan suatu daerah atau mengikuti lokasi candi berada.
Walaupun sama-sama Hindu, bentuk candi hingga tata cara peribadahan agama Hindu ternyata mempunyai banyak perbedaan. Bahkan dengan pemeluk Hindu di Jawa (Tengger) dengan umat hindu di Bali kalau dipelajari lebih lanjut tentu akan ada banyak perbedaan yang semakin menambah keberagaman dalam suatu agama.
Salah satu yang khas di Dieng adalah Candi Semar yang kalau dilihat sekilas ini lebih mirip sebuah rumah atau gubug dalam susunan bebatuan. Dalam istilah Hindunya adalah bentuk Mandapa yang menjadi bagian dari candi di India sebagai tempat untuk para peziarah dan acara festival.
Sebenarnya pada bagian tertentu di area museum Dieng Kailasa ini terdapat keanehan yang saya temui dan juga dibuktikan oleh beberapa pengunjung saat itu yang hendak mengabadikan suatu arca yang dipamerkan di museum ini. Entah itu ada sisi mistis yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah ataupun hanya karena efek kamera saja, beberapa pengunjung hendak memfoto suatu objek yang berada di sini dan hasilnya pasti sering ngeblur alias tidak jelas.
Saya pun mengalaminya saat itu dan awalnya hanya tidak menganggap aneh namun saat saya cerita dan beberapa pengunjung juga mengalami hal yang sama, saya pun berpikir sejenak untuk mengetahui apa penyebabnya. Namun akhirnya hanya berujung pada titik ya sudahlah, mungkin ini kesalahan teknis saja saat memotret suatu objek dan tidak ingin mencari tahu lebih lanjut.
Suasana museum masih sepi. Sayup-sayup terdengar suara menggelegar dari arah ruangan untuk menonton film dokumenter mengenai sejarah perkembangan dataran tinggi Dieng dulu hingga kini berikut budaya dan peninggalan sejarah yang masih bisa dinikmati hingga kini.
Saya masih terus menikmati detail-demi detail poster-poster yang terpampang di sudut-sudut museum ini yang terus memberikan ”penjelasan”.
Sama seperti bangunan rumah pada umumnya dan juga bagian tubuh manusia, candi pun mempunyai susunan bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lainnya. Dalam setiap bangunan candi terdapat inti dari sebuah candi berupa Peripih yang dikubur di tengah-tengah bangunan candi. Begitu pula struktur candi di Dieng ini yang mempunyai susunan bertingkat-tingkat mulai dari dasar candi berupa Peripih, Sumuran, Yoni, Kaki candi, Kala, Relung hingga puncak atau atap candi yang tentunya si pemrakarsa mempunyai tujuan tersendiri dari setiap bagian-bagian itu.
Bergeser lagi, cerita tentang keunikan museum ini masih terus berlanjut. Siapa tidak mendamba kenikmatan yang kekal tanpa ada batas, tidak ada rasa sakit, menjadi tua, sedih, memikirkan hidup? Ya hampir semua agama yang ada di dunia ini percaya akan adanya Surga, Syurga, Swarga, Paradise, Sorga apapun namanya tapi berujung pada suatu tujuan yaitu kebahagiaan tanpa batas dan kekal. Namun tidak semudah saat pengucapan, untuk mencapai tujuan yang banyak diidamkan oleh manusia di muka bumi ini, untuk menuju surga tidaklah segampang yang dibayangkan. Perlu usaha, kebajikan dan lain sebagainya untuk bisa “mencicipi” ini.
Kebudayaan Hindu tua yang tertuang dalam candi di Dieng pun memiliki berbagai simbol dan cuplikan dari surga itu yang terukir jelas dalam relief-relief. Tapi entah saya yang kurang teliti, saat kami melihat langsung ke candi, tidak ditemukan relief-relief tadi. Mungkin ini adalah gambaran secara umum dari beberapa candi yang ditemukan dan terdapat relief surga.
Bahkan dalam serial Sun Go Kong, istana pun memiliki kedudukan di atas langit sana dengan segala kemewahannya dan diyakini sebagai tempat tinggal para dewa dewi. Langit pun masih terbagi-bagi dalam beberapa tingkatan, makanya ada istilah langit ketujuh atau di atas langit masih ada langit lagi.
Prasasti Wadihati
Dialah satu sosok yang sangat menarik perhatian saya dan menjadikan saya betah berlama-lama di sini adalah sosok Hari Hara yang merupakan penggambaran Siwa dan Wisnu dalam satu tokoh. Keduanya dipuja oleh hampir semua penganut Hindu baik dari sekte Siwa maupun Wisnu. Kondisinya masih sangat bagus dan bentuknya sangat bernilai seni tinggi dengan posisi duduk yang terlihat berkarisma.
Kesemua cerita tadi mengerucut dan memiliki benang merah yaitu saat ditemukannya Prasasti Wadihati yang ditemukan pada 891 AD.
Prasasti yang ditemukan di Gunung Pangonan ini berisi mengenai penetapan tanah milik Sang Hadyan Juru Wadihati yang menjadi Sima. Saya kurang paham apa itu Sima dalam penjelasan yang lebih mendetail namun dalam poster tertulis bahwa Sima adalah seorang Perdikan yang dibebaskan dari pajak kerajaan.
Perjalanan sampai pada titik akhir namun menguak sejarah Dieng masihlah butuh waktu panjang. Sekelumit pelajaran tadi seakan menjadi pengingat bahwa nenek moyang kita dulu adalah pemilik kebudayaan yang tidak bisa dianggap remeh dan terbukti jelas dari peninggalan berbagai macam benda bersejarah hingga candi yang banyak ditemukan di berbagai tempat di Indonesia.
Sebagai penutup,
Manfaat ke Museum itu kita tahu asal kita, dan kita bisa belajar dari leluhur kita dalam bersikap.
Untuk kemudian mengaplikasikannya (hal2 yang baik) untuk saat ini dan belajar dari kesalahan masa lalu.
Trims sudah mampir dan berkomentar di blog Ndayeng : )
Ini museum yang di dekat parkiran Candi di Dieng itu bukan? Duh saya udah beberapa kali ke Dieng tapi nggak pernah masuk sekalipun ke sini 🙁
Ya begitulah, hanya segelintir orang saja yang mau mampir ke sini hehehe
Wooooooooooow Museum Dieeeeeeeeeeng *jejingkrakan dan joget-joget kesenengan*. Aduh Mas iri sangat diriku ini kepengen ikutan jalan-jalan dan masuk museumnya. Saya kayaknya mesti mencari Prasasti Wadihati di Museum Nasional, mungkin pernah lewat cuma belum saya perhatikan. Museum Kailasa ini lengkap ya, benar-benar merangkum semua perkembangan Dieng sebagai sebuah daerah pemujaan Hindu pertama di Jawa, termasuk perkembangannya sampai masa yang lebih kemudian. Memang banyak pengaruh lokal yang ikut memberi warna pada perkembangan Hindu sehingga hari ini sudah beda banget dengan di India sana. Masyarakat Indonesia zaman dulu memang keren ya dalam menerima budaya baru. Tidak semata-mata ditelan mentah tapi disesuaikan dengan adat lokal.
Ngomong-ngomong benda apa yang ngeblur jika difoto itu, Mas? Arca, atau peripih?
Akhirnya pancinganku datang juga, tidak salah aku menebar umpan lewat tulisan ini. Jujur Gara tulisan ini sebenarnya semacam persembahan buat kamu yang notabene sangat suka sekali dengan sejarah. Sengaja saya tulis apa adanya karena sejatinya saya memang tidak tau apa-apa mengenai sejarah perkembangan hindu di dieng ini. Harapannya, jawaban2 dari pertanyaan2 yang saya tulis dapat dipecahkan oleh kamu hehehe.
Iya coba cari tuh prasasti Gara.
Lupa benda apaan, tapi entah cuma kebetulan atau tidak, saat kami bersama2 memfoto objek tadi kok hasilnya kabur gitu, padahal saat dicek pertama kali ya masih normal-normal saja.
yeaahh akhirnya muncul si Gara :p
hahaha iya ini kesukaannya
Hahaha…
Gara mah selalu dimana-mana di setiap blog pasti nongol
Hehe. Jadi malu.
gpp biar makin femes malah
ada museumnya juga ternyata hiks baru tahu
ada kok mba…hehehe
Terakhir ke Museum Kailasa kagum dengan koleksi arca yang di bangunan lamanya. Bentuknya ada yang khas dan beda dengan candi di Sleman-Klaten. Masih ingin menemukan keterkaitannya dengan Liyangan dan situs candi di Temanggung secara letak Banjarnegara-Wonosobo berdekatan dengannya hehehe. Oh iya prasasti yang besar di dalam gedung baru itu Prasasti Wadihati, kan? Kulihat nggak dilindungi apapun kalau asli. Sayang banget kalau batu prasastinya jadi aus karena banyak disentuh oleh pengunjung museum.
iya sih, udah sedikit rusak dan memang kurang terjaga. mungkin karena kurang perawatan atau masalah keamanan mungkin
oh ternyata isinya lumayan lengkap ya, belum pernah sekalipun masuk museum ini, padahal udah berkali-kali ke dieng hehehe
mungkin kurang menarik ya museum itu bagi sebagian orang, mungkin lho… : )
bukan kurang menarik mas, mungkin sebagian besar wisata sekarang ini hanya untuk berfoto-foto, bukan untuk wisata dalam arti sebenarnya
apakah arti wisata itu?
*brb buka KBBI
iya juga sih, sekarang memang lebih fokus ke spot2 untuk berfoto atau selfie. *buka KBBI* hehehe
Aku baru tahu museum ini. Bisa nie dicoba
gpp..banyak kok yang nggak tau keberadaan museum ini hehehe
Lengkap dan semakin tah tentang sejarah zaman dahlu.
betul…sekali-kali boleh lah wisata sejarah ke museum hehehe
Bisalah… Mungkin nanti ya Hend pas ke Dieng lagi hehehehe
mungkin tahun depan saat pengunjung tidak seramai menjelang tahun baruan seperti ini
Baru tahu mas ada museum kayak gini di Dieng yang menyimpan cerita dan kekayaan sejarah Dieng. Kalau ke Dieng sih pasti yang dituju Candi Arjuna sama Telaga Warna.
memang dari beberapa komentar, banyak yang kurang tau tentang keberadaan museum ini, trims sudah berkunjung ke blog ini
Wah, ada museumnya juga di Dieng? Keren. Kapan kapan harus kesini nih, wajib 😀
iya lho, biarpun nggak gede-gede amat bangunannya tapi gedungnya unik
Kerajaan Mataram kuno yang menduduki daerah Dieng jaman dulu sudah mewariskan buktinya ke kita. Semoga peninggalan itu bisa dilihat sampai lamaaaa…. 🙂
Kalo gak diperkenalkan oleh pihak berwenang museum ini tetap tak banyak orang yang tahu. Termasuk saya, baru tahu dari blog ini. Terima kasih sudah berbagi.
Dan bisa dijadikan pengingat ke generasi yang akan datang jika agama-agama lainnya ada yang telah lama eksis di bumi Indonesia.
Petugas ada tapi mungkin pihak dinparnya lebih fokus ke komplek candinya.
Museum Kailasa salah satu museum yg sangat saya sukai. Keliling museum dg sajian menarik, menikmati dokumentasi di Theater, kembali menikmati sajian dokumentasi foto dan benda bersejarah dg kagum tingginya kebudayaan kita. Salam
wah udah pernah ke sini ya? kapan itu tepatnya?
Penutupnya itu maknanya apa kang Banjarnegara?
Itu isi prasasti Wadihati mngenai penetapan seseorang yg dibebaskan dr pajak oleh sang penguasa saat itu
aku kira sebuah sajak Kang Hendi, eh.
bukan, sam. mungkin cocok ya kalau endingnya sajak tapi ga pinter saja bikin begituan.
Setuju banget, apapun agama nya tapi esensi ibadah nya sama yaitumengagungkan nama pencipta
mari kak, kita sebarkan kembali rasa toleransi biar ga pada tegang mulu, capek..
Yuk mariiiii … semoga membawa kedamaian
Aamiin
Aku baru tahu ada museum di Dieng. Kalau ke Dieng, tahunya cuma Gunung Prau, Telaga Warna, sama Bukit Sikunir, hahaha. Museumnya cenderung fokus dengan koleksi peninggalan Hindu ya, mas.
Dikatakan gedungnya berbentuk setengah lingkaran, kayaknya dari segi arsitektur museum ini cukup menarik juga.
hahah karena kamu itu masuk kawasan wisata yang berada pada bagian kabupaten Wonosobo hehehe, coba mampir ke sisi Banjarnegara
Iya euy, Banjarnegara cuma lewat doang. Kotanya kayaknya asyik sih. Tenang, sejuk, banyak pohon, sampeyan di kotanya mas?
Bukan hahaha aku tinggal di pegunungan
Hahaha. Gpp, tenang dan adem.
sebenere pas udah di sekitar kecamatan tempat tinggalku sih udah kayak kota, tapi akses dari banjarnegara kota ke kecamatan saja yang jalannya naik turun bukit melewati sungai hehehe
Jadi kayak rumah ke Ninja Hatori, “lewati gunung lalui lembah” 😀
betull mirip lagu openingnya tuh kartun hahaha
alamat atau lokasi museum dimana nggih mas?
di seberang komplek candi arjuna, kec.Batur desa (dieng kulon) Banjarnegara, mas
Sampai segitunya ulasan mengenai museum ini. Menarik. Suamiku suka banget museum. Kalau sudah ke museum bisa tahan seharian doi…Beda samaku..Sukanya ke mall 😀
hehehe mungkin karena cewek kali ya jadi sukanya shoping, wah…berbanding terbalik gitu ya?
Ha ha ha..iya..aku suka yg enak2 aja matanya 😀 liat yg cantik cantik…
naluri banget itu hahaha
salam kenal, banyak archa dan prasasti di sana ya, syukur museumnya agak terang karena ada museum yang gelap malah jadi bikin takut
hai-hai salam kenal kembali dan terimakasih sudah berkenan mampir ke blog NDAYENG ini heheh
waktu aku ke dieng, tur guide ku sama sekali ga nyebut2 soal museum mas.. makanya aku ga kesana… kalo dia ksh tau aku pasti bakal datangin, krn aku paling suka dtg ke museum.. itu cara paling asyik utk blajar sejarah sebenernya…
emang banyak yang melewatkan museum ini saat berkunjung ke Dieng, mungkin bagi pemandu, museum ini kurang menarik. rata-rata pembaca tulisan ini juga berpikiran begitu, saat ke Dieng malah baru tau kalau ada museum ini.
Terakhir ke museum pas SMA dulu, hahaha..
menarik juga ini Dieng kailasa
ayo ke museum lagi sambil bernostalgia
Dimana-mana museum itu bentuknya setipe ya mas. Yang di Jakarta sedikit pengecualian kayak museum BI (so far menurutku museum paling keren). Sudah oke sih, tapi pasti bisa dikemas dengan lebih menarik. Walau begitu, museum masih jadi salah satu tempat fav jika aku berkunjung ke satu kota.
Itu sih gedungnya sj sdh wahhh bgt
museum sebenarnya banyak simpan sejarahnya, tergantung cara packagingnya biar tampak menarik dan betah berlama-lama.
Hooh…perlu belajar lagi dan lagi biar nggak bikin bosen
Museumnya kelihatan artistic.
aku juga beranggapan begitu walau koleksinya tidak terlalu banyak
Iyaa… 🙂
wah jadi nambah ilmu nih, hehehe
iya hehehe, terima kasih sudah mampir ke blog NDAYENG ini
Ting tong
eh maaf…ternyata iya masuk spam hehehe, aku kurang teliti, maaf
Tu kan…
Duh…maaf..kok bisa ya.mm
Itu dia masalahnya…
waw keren jadi pengen ke dieng juga tau 🙂
salam kenal
Ternyata ada museum di sana ya, baru tahu.
padahal pernah dibesarkan di Banjarnegara,
nanti deh kalau ke sana mampir.
terima kasih
Gpp…bnyk jg yg blm tau kok.
Dulu tggl di mana?
Slm knl kmbli
mimpi besar saya yang belum terwujud adalah ke Kompleks candi Dieng
setelah membaca ini saya semakin ingin ke sana, apalagi ada museumnya juga
btw iya sih mas, kadang kalau memfoti arca/candi suka ngeblur, entahlah
ulasan menarik mas, salam.
Ditunggu ke sininya.
Trims..slm knl kmbli.
Hooh aneh yo
tadinya liburan tahun baru mau ke dieng .. tapi ga jadi, next time .. jadi pas ke museumnya sudah kebayang deh ..
Sebelum ke obyek wisata lainnya, silahkan mampir ke museum Kailasha dulu, informasi tentang Dieng lengkap ada di museum